Saturday 23 January 2016

Batik Prada Emas

Oleh: Sardi, Drs., M.Pd. (Editing 23 September 2014)
Satu hal lain yang dikreasikan guna mengistimewakan kain batik lingkungan keraton selain keberadaan motif larangan adalah prada (perada) atau pinarada emas (lembar emas). Teknik ini merekatkan lembar emas murni pada kain batik dengan lem ikan Cina dicampur dengan air perendam abu buah jangkang atau kepuh. Di Surakarta prada dipakai guna memperindah kain batik keraton berukuran besar yang disebut kampuh atau dodot. Bubuhan prada dalam batik Surakarta sebatas garis luar corak dan isen-isen, sedangkan dalam batik Yogyakarta dibubuhkan hampir di seluruh corak dan isen-nya
dilapisi prada. Pada perkembangannya, batik prada juga digunakan sebagai busana pasangan pengantin di pesta pernikahan sebagai tanda status istimewa mereka dalam perhelatan tersebut.
Masa imperial Inggris pimpinan Thomas Stamford Raffles di Nusantara yang berlangsung sekitar dekade kedua abad ke-19 juga memengaruhi inovasi media batik. Kain batik yang semula hanya berupa hasil tenunan tangan kemudian memiliki alternatif lain dengan memakai kain katun halus impor dari Inggris. Kain inilah yang kemudian dikenal dengan mori. Dengan makin banyak dan praktisnya tekstil bahan batik maka makin cepat pula batik berkembang.
Setelah Nusantara jatuh lagi ke tangan penguasa kolonial Belanda, terjadi perang besar yang cakupannya meliputi hampir seluruh wilayah Jawa. Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825—1830). Banyak keluarga istana yang terdesak meninggalkan daerah kerajaan. Mereka mengungsi ke arah timur (Majan, Mojokerto, Tulungagung, Gresik, Surabaya, Madura) dan ada pula yang bergerak ke barat (Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon, dan Pekalongan). Di daerah baru mereka mengembangkan lagi tradisi batik. Inilah yang kemudian menyebabkan perkembangan corak-corak batik baru. Yang khas dengan identitas sesuai lingkungan sosial masyarakat setempat. 
Gb. 26. Motif Pekalongan (Iwan Tirta, 2009:142). 
Salah satu tempat batik berkembang bak cendawan di musim hujan adalah Pekalongan(Gb. 26). Batik Pekalongan mewakili khazanah batik pesisir Nusantara. Data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan RI mencatat telah ada motif pohon kecil pada bahan baju sekitar tahun 1802 di Pekalongan. Metode pewarnaan batik menampakkan inovasi di pesisir ini. Pemakaian bahan pewarna kimiawi mulai dirintis sejak sekitar tahun 1926. Metode colet yang merupakan pewarnaan langsung dengan mengoleskan pewarna langsung di bagian tertentu dalam pola pun digunakan.
 Interaksi khas niaga di Pekalongan yang terjalin antara penghuni lokal daerah pesisir dan dunia luar mengakibatkan munculnya beragam variasi corak batik. Mulai dari pengaruh India, Cina, Belanda, sampai Jepang. Pengaruh India dapat dilihat dari ragam hias patola (cindai, Gb. 27)—tenunan ikat ganda—dan chintz (sembagi)—tenunan sutera berkualitas tinggi. Penggunaan motif tersebut bisa dilihat pada batik jlamprang. Batik ini mulai dibuat saudagar-saudagar Arab pada awal abad ke-19 di kawasan Pantai Utara Jawa, terutama di Cirebon dan di Lasem (Gb. 28). Kala itu banyak diperdagangkan oleh saudagar Arab waktu sore hari di jalan-jalan.
Gb.27 Kain patola (Maxwell, 2003:25). 
Gb.28. Batik Lasem (Kerlogue, 2004:50). Batik Lasem disebut juga dengan istilah Laseman, dinamakan demikian karena memiliki tata warna yang khas yaitu bang-bangan: warna latar putih ragam hias merah atau sebaliknya; kelengan: warna latar putih ragam hias biru atau sebaliknya; bang biru: warna latar putih ragam hias merah dan biru; bang biru ijo: warna latar putih ragam hias merah, biru, dan hijau.
Gb. 29. Batik peranakan China (Maxwell, 2003:286). 
Pengaruh China tampak pada Batik klangenan (Cirebon) dan batik Lasem (Gb. 29). Penggunaan warna-warnanya cerah serta ragam satwa yang dipilih khas (seperti phoenix, naga, kura-kura, dan kilin). Bangsa China peranakan juga memiliki status sosial internal yang terpisah dengan kehidupan sosial Jawa umumnya. Bagi kalangan atas, mereka biasa memiliki halaman khusus di belakang yang diperuntukkan bagi pembatik. 
Gb.30. Batik pengaruh Barat (Kerlogue, 2004:46). 
Tidak ketinggalan, kaum kolonial Belanda juga menorehkan pengaruhnya terhadap khazanah batik Nusantara (Gb. 30). Selama masa kolonial Belanda, perkembangan batik Nusantara menurut segi sentra pembatikannya dapat diklasifikasikan menjadi dua: batikVorstenlanden (Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta) dan batik pesisir. Tidak ditemukan pengaruh Belanda dalam batikVorstenlanden, sedangkan pada batik pesisir dapat dilihat pengaruhnya baik dari segi corak maupun motifnya. Berawal dari penyesuaian busana subtropis ke tropis, kolonial Belanda mulai melirik kain batik sebagai bahan sandangnya. Anggota keluarga laki-laki mengenakan celana batik longgar mirip piyama, sedangkan perempuan mengenakan sarung batik atau kain panjang batik. Ciri batik yang muncul cukup luas meliputi kerapnya penggunaan warna biru, corak bunga semisal tulip dan wisteria, serta benda-benda bawaan kolonial: gedung dan kereta kuda. Batik bercorak dominasi bunga non-geometris dalam masa kolonial Belanda dikenal dengan sebutan buketan, yang berasal dari kata Prancis “bonquet”.
Gb.31. Batik Hokokai (Iwan Tirta, 2009:148). Batik Hokokai memiliki ragam hias dan tatawarna yang mirip dengan ragam hias kimono Jepang, yang pada umumnya juga merupakan kain pagi-sore. Permukaan yang sebelah memiliki tatawarna gelap untuk sore dan bagian yang lain berwarna terang untuk dipakai pagi hari.
Masa pendudukan Jepang tahun 1942—1945 mewariskan batik Hokokai (Gb. 31). Istilah “Hokokai” berasal dari sebuah konsep politik Jepang yang menggariskan bahwa kerja sama orang Jawa sangat diperlukan guna mewujudkan Asia yang lebih sejahtera. Batik dengan ciri warna cemerlang ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh khusus dari Jepang. Motifnya dipenuhi detail rumit dan banyak ditampilkan ragam bunga (sakura, krisant, lili, mawar, serta anggrek), juga kupu-kupu. Batik Hokokai banyak diproduksi oleh perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan yang umumnya dioperasikan pengusaha Cina. 
Dalam penyebarannya, pusat batik Jawa bagian barat dan bagian timur bisa dijumpai di Cirebon dan di Madura. Di Cirebon kain batik bisa dibagi menjadi dua: keratonan untuk keluarga kerajaan dan kenduran untuk masyarakat luar istana. Pola-pola umum batiknya mencolok, dengan komposisi anjungan/bangunan, mirip lukisan atau kain hiasan dinding dengan jajaran awan dan taman-taman. Keyakinan kuat Islam di Cirebon sering membuat motif makhluk hidup distilisasi.
Gb.32. Batik Madura. Warna utama kain batik Madura diantaranya adalah merah, jingga, biru tua, hijau tua, hitam dan putih, dengan ragam hias yang cenderung besar, kuat, dan tegas sejalan dengan alamnya yang keras dan watak masyarakat Madura yang berani dan tegas (Djoemena, 1990:76). 
Gb.33. Batik Cirebon (Iwan Tirta, 2009:113). Ragam hias awan atau mega khas daerah Cirebon ini melambangkan si pembawa hujan yang sangat dinanti-nantikan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi kehidupan.
Di Madura umumnya batik berwarna kemerahan atau warna lain yang mencolok, kuat, serta berani dalam penampilan, demikian pula dengan ragam hiasnya. Corak utamanya bunga dan burung. Pusat-pusat batik di Madura a.l. Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Kain batik Madura terkenal dengan aroma khasnya yang tercipta karena pemakaian berbagai minyak nabati dalam proses pewarnaan. 
Gb.34. Batik Buket Terang Bulan  (Djoemena, 1990:52).
Ada pula corak batik yang cukup menonjol di era krisis pada masa akhir abad ke-19 sampai ke periode pendudukan Jepang, yakni gaya pagi sore dan gaya terang bulan. Gaya pagi sore membelah secara diagonal dua motif berlainan pada sehelai kain batik. Corak ini dinilai praktis karena dalam sehelai kain yang sama dapat digunakan untuk perhelatan yang berbeda. Ibarat konsep 2 in 1, dua motif dalam satu kain. Gaya terang bulan bercirikan di bagian tengah kain, dikelilingi motif pinggiran. Tujuan utama pengusaha batik memakai gaya ini adalah menghemat tenaga kerja.
Gb.35.Batik Pagi-Sore (Kerlogue, 2004:131).

Daftar Pustaka
Djoemena, Nian S. (1990). Ungkapan Sehelai Batik, Its Mistery and Meaning. Jakarta: Djambatan, 1986; 2nd edn.
Kerlogue, Fiona. (2004). The Book of Batik. Singapore: Archilago Press.
Maxwell, Robyn J. (2003). Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation. Melbourne: Oxford University Press and Australian
Tirta, Iwan. (2009). Batik: Sebuah Lakon. Jakarta: Gaya Favorit Press.

sumber : http://www.s-ardi-indigo-batik.com/index.php/artikel/artikel-batik/48-batik-prada-emas

No comments:

Post a Comment